“Aku ingin”, Puisi Sapardi Djoko Damono: Terjemah Inggris dan Musikalisasinya

By: Hari M.

Posted 09 Jan 2012, updated 04 Jun 2012

Puisi “Aku ingin” adalah karya Sapardi Djoko Damono, sastrawan Indonesia yang mendunia. Tapi ketenaran “Aku ingin” seolah justru membuatnya terpisah dari dunianya. Pada tahun 2000-an di warung makan sekitar kampus, saya lihat puisi itu dilisankan secara semena-mena oleh satu tokoh dalam sinetron yang (menurut pemilik warung) diperankan Bella Saphira.

Selain itu, saya pernah juga melihat puisi “Aku ingin” tercetak pada sebuah undangan pernikahan. Tragisnya, entah sengaja atau karena ketidaktahuan, di situ tidak disebutkan nama sang penulis puisi. Bahkan, menurut seorang teman, alih-alih dituliskan sebagai karya Sapardi Djoko Damono, pada undangan pernikahan yang lain justru tertulis puisi itu sebagai karya Kahlil Gibran.

Mungkin karena waktu itu terjemahan puisi-puisi Gibran dalam bahasa Indonesia masih booming sehingga orang-orang yang terlibat dalam pencetakan undangan itu mengira “Aku ingin” sebagai karya Gibran juga! Siap mendengar yang lebih “edan”? Puisi itu ada dalam sebuah undangan (lagi). Dan di bawah puisi itu, nama sepasang pencuri yang berbahagia dicetak dengan gagah!

Kebodohan (ignorance) para blogger dan netizen (warga dunia maya) pun tidak kurang memalukannya. Untuk membuktikannya, Anda dapat melakukannya dengan sangat gampang. Cobalah buka salah satu mesin pencari atau search engine (misalnya Google, Yahoo, Bing, atau yang lain) lalu ketikkan puisi aku ingin mencintaimu dengan sederhana Gibran. Dan... booom... Luar biasa, bukan? Hampir semua situs hasil pencarian rame-rame sekedar copy-paste artikel yang sama.

Sastrawan di balik “Aku ingin”

Dalam dunia kepenyairan Indonesia, penulis “Aku ingin” Sapardi Djoko Damono menempati posisi unik karena ia merupakan salah seorang kritikus sastra sekaligus sastrawan yang karya-karyanya banyak diapresiasi dan dijadikan bahan kritik sastra (Disclaimer: Mengikuti konvensi dalam pembicaraan tentang karya sastra, kata “kritik” di sini harap dijauhkan dari konsep “kritik” dalam praktik politik murahan yang “miskin penghargaan dan pendek pandangan”).

Sebagaimana lazim dalam kritik sastra, setiap pembahasan suatu karya biasanya didahului dengan deskripsi tentang siapa seniman yang menciptakan karya itu. Mengingat begitu banyaknya karya Sapardi dari tahun 60-an hingga sekarang, tidak akan sulit mendapat informasi tentang Sapardi Djoko Damono, baik di dalam skripsi, tesis, disertasi, maupun laporan penelitian serta publikasi lainnya.

Namun dari sekian banyak sumber tentang Sapardi, nampaknya Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya (tulisan Bakdi Soemanto, Grasindo, 2006) merupakan salah satu sumber yang menyajikan gambaran mendetail mengenai siapa Sapardi, faktor-faktor apa saja yang ikut membentuknya menjadi seorang penyair luar biasa dan pembahasan umum tentang karya-karya monumental Sapardi. Buku ini menurut saya merupakan rujukan primer bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat penulis “Aku ingin” dan karya lainnya.

“Aku ingin”, Indonesia dan Inggris

Sekarang marilah kita simak kedua versi puisi “Aku ingin”. Versi asli dari puisi “Aku ingin” diambil dari Hujan Bulan Juni, kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono (terbitan Grasindo, 1994, hal. 91). Sementara itu, versi bahasa Inggris dari puisi ini merupakan terjemahan John H. McGlynn, Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (Yayasan Lontar, 2005, hal. 142).

Aku ingin

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak pernah diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


I want

I want to love you simply
In words not spoken:
Tinder to the flame which transforms it to ash

I want to love you simply
In signs not expressed:
Clouds to the rain which make them evanesce

Dua catatan tentang terjemahan “Aku ingin”

Dari segi terjemahan, puisi “Aku ingin” telah dapat dipindahkan ke dalam bahasa Inggris dengan sangat baik oleh John McGlynnn. Hampir semua kata yang “sederhana” itu dengan pas diterjemahkan ke dalam bahasa tujuan sehingga secara umum hampir tidak ada masalah. Akan tetapi, menurut hemat saya, setidaknya ada dua segi dari penerjemahan puisi itu yang perlu dipertimbangkan kembali.

Pertama, menurut saya ada pada baris terakhir, terutama kata make. Saya berkali-kali memelototi puisi itu sambil menyediakan kemungkinan bahwa saya salah lihat. Tetapi seorang teman meyakinkan bahwa apa yang saya baca adalah benar seperti yang tertulis adanya, make, bukan makes.

Jika demikian, tinggal ada dua kemungkinan: (1) ada kesalahan cetak, dan (2) ada perbedaan tafsir antara penerjemah dan saya sebagai pembaca. Untuk kemungkinan yang pertama, rasanya kesalahan cetak seperti itu tidak akan terjadi untuk lembaga atau penerbit besar yang naskah terbitannya akan selalu mengalami pemeriksaan berulang-ulang sebelum naik cetak. Tinggal satu kemungkinannya: ada perbedaan tafsir antara penerjemah dan saya sebagai pembaca.

Menurut saya, kata make dalam baris itu seharusnya lebih spesifik untuk "orang" ketiga tunggal (makes) untuk memperjelas subjek dalam klausa itu. Verba itu mestinya menerangkan tindakan sang hujan, bukan awan. Hujan itulah yang menjadikan awan-awan itu tiada. Karena hujan-lah maka awan-awan yang tadinya melayang di ketinggian langit itu menjadi titik-titik air yang jatuh ke bumi. Dus, hujan-lah (rain, nomina tunggal) yang (which, kata penghubung) menjadikan (makes) awan (clouds nomina jamak, dan them, pronomina jamak) itu tiada (evanesce). Pada hemat saya, begitulah logika baris terakhir itu, yang sekaligus pararel dengan logika baris terakhir bait pertama: Api-lah yang menjadikan kayu itu abu. Dengan demikian, verba make dalam bentuknya seperti pada terjemahan itu mengaburkan siapa pelaku sesungguhnya. Mudah-mudahan saya salah...

Catatan kedua, penerjemahan puisi itu menurut saya cenderung setia mati pada bentuk formalnya dan dapat menimbulkan ganjalan dari segi estetika. Karena dalam puisi aslinya setiap bait terdiri dari tiga baris, puisi terjemahannya juga tetap menjadi tiga baris saja. Kesetiaan yang demikian, bagi saya, justru memunculkan semacam ketidakselarasan (disharmoni) bentuk wadak atau fisik puisi itu setelah diterjemahkan (terutama dalam wujud tulisan). Disharmoni yang dimaksud adalah ketidakserasian panjang baris pertama dan kedua dengan panjang baris ketiga pada tiap bait.

Dalam puisi aslinya, keseluruhan isi puisi itu disampaikan dalam dua bait yang masing-masing terdiri dari tiga baris. Lebih jauh lagi, ketiga baris itu memiliki panjang yang kurang-lebih sama karena kata-kata dalam puisi asli itu memungkinkan setiap baris berakhir pada titik atau rentang yang sama.

Selanjutnya, kita dapat melihat bahwa kata-kata pada baris pertama dan kedua dapat dipindahkan ke dalam bahasa Inggris secara lebih pendek karena memang wujud kata-kata paling sederhana dalam bahasa Inggris yang bisa mewakili kedua baris itu pendek-pendek adanya. Namun tidak demikian halnya dengan kata-kata pada baris ketiga. Mencari kosakata lain yang lebih panjang untuk baris pertama dan kedua di masing-masing bait demi mengejar kesamaan panjang baris merupakan pemecahan yang tidak perlu bahkan justru dapat merusak "kesederhanaan" pilihan kata pada puisi aslinya. Dalam hal "kesederhanaan"-lah, kesetiaan pada puisi aslinya itu menempati prioritas utama.

Salah satu pemecahan yang mungkin ditempuh dalam mengatasi disharmoni baru ini adalah dengan menjadikan setiap bait menjadi empat baris, dengan baris keempat diambilkan dari pecahan baris ketiga. Langkah ini diambil agar harmoni formal dalam puisi aslinya tidak terganggu oleh munculnya disharmoni baru akibat rentang baris terakhir di masing-masing bait yang berbeda. Dengan demikian, puisi terjemahan itu akan menjadi seperti ini (cetak tebal pada baris terakhir dari saya, sekaligus untuk pembuktian catatan pertama di atas.):

I want

I want to love you simply
In words not spoken:
Tinder to the flame,
which transforms it to ash

I want to love you simply
In signs not expressed:
Clouds to the rain,
which makes them evanesce

Di satu sisi, puisi ini telah berubah bentuk, dari tiga baris per bait menjadi empat baris per bait. Tapi di sisi lain, perombakan itu dilakukan demi mempertahankan satu aspek yang ada dalam puisi aslinya: keselarasan bentuk. Tentu saja akan ada yang berpendapat bahwa dalam penerjemahan dengan penafsiran seperti itu, penerjemah menjadi semena-mena dan mengkhianati bentuk aslinya. Menurut saya tidak perlu berpegang pada prinsip seekstrim itu selama yang dilakukan adalah juga untuk pertimbangan estetika. Toh kesemena-menaan itu tidak sama dengan yang dilakukan Bella Saphira beserta seluruh kru sinetronnya atau dengan para pengantin buaya yang mencuri sajak itu untuk dipajang di undangan pernikahan mereka.

Hampir semua orang mengatakan bahwa salah satu kekuatan puisi-puisi Sapardi adalah dalam pemilihan kata-kata yang sederhana. Begitu dimainkan Sapardi, kesederhanaan kata-kata itu menjadi sangat subtil dan memiliki kedalaman dimensi dan kekhasan yang sulit ditandingi dengan konstruksi kata-kata yang dimainkan seniman lain. Pada titik itulah, kesederhanaan itu menjadi kekuatan yang luar biasa.

Meminjam satu pandangan yang diyakini Steve Jobs, simplicity is the ultimate sophistication. Kesederhanaan adalah sebentuk ketidaksederhanaan yang paling tidak sederhana. Kekuatan kesederhanaan itu dibentuk oleh sebuah proses untuk menjadi sederhana yang sangat tidak sederhana. Kekuatan kesederhanaan itu juga dimungkinkan karena pesan yang disampaikannya juga tidak sederhana. Kesederhanaan cinta dalam puisi itu sama sekali tidak sederhana!

Nah, dari segi estetika, tentunya kesederhanaan itu juga perlu ditopang oleh keserasian dalam wujudnya. Karena itu, untuk mempertahankan kesederhanaan puisi itu dalam terjemahannya, harmoni dalam keseluruhan puisi juga perlu dijaga.

Musikalisasi Puisi “Aku ingin”

Terakhir, perlu juga dikemukakan bukti lain dari kedalaman puisi “Aku ingin”, yaitu dari tidak habis-habisnya puisi ini ditafsir. Banyak orang telah mencoba menafsirkan puisi-puisi Sapardi dengan caranya sendiri-sendiri. Selain melalui kritik sastra dan pembacaan puisi yang nampaknya tiap tahun akan terus diadakan, paling tidak oleh mahasiswa, upaya menafsir puisi-puisi Sapardi juga dilakukan lewat musik. Menurut Bakdi Soemanto dalam buku yang disebutkan tadi, bahkan ada umat Katolik di Jogja yang menjadikan “Aku ingin” sebagai lagu paduan suara untuk misa pernikahannya.

Dari berbagai upaya itu, salah satu tafsir lewat musik yang cukup terkenal adalah musikalisasi yang dibuat pada akhir tahun 1980-an dan melibatkan beberapa vokalis dan komposer di Universitas Indonesia (mahasiswanya Pak Sapardi?). Komposisinya dibuat oleh AGS Arya Dipayana (alm.). Lagu “Aku ingin” dalam musikalisasi itu dilantunkan oleh duet Ari-Reda (lengkapnya Ari Malibu dan Reda Gaudiamo).

Komposisi yang sama oleh AGS Arya Dipayana untuk puisi “Aku ingin” telah direkam setidaknya dalam tiga versi: (1) Versi pertama seperti yang pada tahun 1990-an pernah saya dengarkan lewat kaset (sekarang entah di mana). Versi ini merupakan pengembangan dari musikalisasi puisi-puisi Sapardi dalam event BAS (Bulan Apresiasi Sastra), yang kemudian menjadi album Hujan Bulan Juni. (2) Versi kedua yang dibawakan oleh duet "Dua Ibu" (Reda dan Tatyana) dalam album Gadis Kecil (produksi 2005). (3) Versi yang terakhir dibawakan oleh duet Ari-Reda dalam album Becoming Dew (2007). Dua CD yang memuat kedua versi terakhir dapat diperoleh di EKI production.

Silakan PLAY audio berikut untuk mendengarkan penggalan dari musikalisasi puisi “Aku ingin” karya Sapardi Djoko Damono (dimuat di sini dengan ijin penyanyinya). Bila ingin menikmati lagu seutuhnya, silakan beli CD-nya.

Itulah puisi “Aku ingin” karya Sapardi Djoko Damono dalam versi aslinya (Indonesia), terjemahannya dalam bahasa Inggris, serta salah satu tafsirnya melalui musik.***)


*) Posting ini dipicu obrolan penulis dengan Erni Dewi: terima kasih telah meminjam­kan buku Before Dawn. Juga Rahmat Widada untuk buku Hujan Bulan Juni. (Makasih untuk Reda Gaudiamo yang mengizinkan pemuatan lagu ini di sini, 22 Jan 2012).


Komentar


  1. Rahmat, 09 Jan 2012:

    jadi empat baris, saran yang masuk akal dan bagus. kalo baris kedua bait 1 diganti: in words not said bisa ngga har? biar rimanya jatuh dekat (maksa) ke: expressed di bait 2. hehe... maafkan saya yg bahasa inggrisnya dapat C ini.

  2. Harimur, 10 Jan 2012:

    @Rahmat: Makasih kunjungan dan komentarnya... Saya setuju untuk menjaga keutuhan rima dalam puisi itu. Kalau kita lihat, rima dalam puisi aslinya abc aba, sedang rima dalam puisi terjemahannya kurang lebih abc adc. Untuk "mendekatkan" rima baris ke-2 bait 1, dengan expressed di bait 2, bisa menggunakan "not said" seperti usulanmu atau mungkin juga "not utterred"...

  3. Andy, 02 Feb 2012:

    Puisi yang sangat mantabbb...Sangat pas buat siap-siap Valentine ....

  4. Jackie, 09 Feb 2012:

    Tul, puisi Pa Sapardi emang top ci... Tulisandi blog ini juga ok. Jarang nemuin yg serius n nga cuma copas. Thanks.

  5. Harimur, 10 Feb 2012:

    @Andy and Jackie: Terima kasih. Setuju! SDD adalah sastrawan Indonesia yang luar biasa.

  6. Suci, 12 Mar 2012:

    Sebenarnya saya orang yang gak begitu suka dengan puisi, tapi pas baca puisi "aku ingin" saya langsung suka dengan puisi ini,,
    Kata-katanya sederhana tapi begitu menyentuh...




Ingin berkomentar?

Form komentar hanya disedikan di posting terbaru. Bila Anda ingin menyampaikan pertanyaan atau komentar, silakan gunakan contact form atau email.


Artikel Terkait

Puisi “Mi Ultimo Adios” adalah karya terakhir José Rizal, seorang pejuang kemerdekaan Filipina yang menginspirasi banyak tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ditulis menjelang eksekusi mati oleh pemerintah Kolonial Spanyol pada 30 Desember 1896, puisi ini berhasil diselundupkan keluar penjara dengan cara disembunyikan dalam lampu spritus yang dipergunakan Rizal selama dipenjarakan.

Baca selengkapnya»