Puisi “Mi Ultimo Adios”:
dari Spanyol ke Inggris, lalu ke Indonesia

By: Hari M.

Posted 16 Sep 2011, updated 29 Jan 2012

Puisi “Mi Ultimo Adios” adalah karya terakhir José Rizal, seorang pejuang kemerdekaan Filipina. Ditulis menjelang ia dieksekusi mati oleh pemerintah Kolonial Spanyol, 30 Desember 1896, puisi ini berhasil diselundupkan keluar penjara dengan cara disembunyikan dalam lampu spritus yang dipergunakan Rizal selama dipenjarakan.

Sebenarnya puisi itu tidak memiliki judul, tetapi kemudian lebih terkenal sebagai “Mi Ultimo Adios”. Bait pertama dari puisi José Rizal itu mencerminkan keteguhan seorang bumiputera yang rela mati demi bangsanya:

mi ultimo adios stanza#1

Manuskrip puisi “Mi Ultimo Adios” (tulisan tangan Jose Rizal) beserta transkripnya dapat dilihat di Project Gutenberg.

Puisi ini sangat terkenal dan telah diterjemahkan ke puluhan bahasa. Kemashuran “Mi Ultimo Adios” dan José Rizal ini juga dibenarkan sastrawan Taufiq Ismail. Dalam sebuah puisi buat José Rizal, ditulis tahun 1996 ketika berziarah ke Rizal Park (monumen tempat dulu Rizal tersungkur di depan regu tembak penjajah), Taufiq Ismail menyinggung dua “warisan” José Rizal: karya dan nama José Rizal itu sendiri.

Puisi Mi Ultimo Adios dihapal dan dijadikan inspirasi oleh banyak tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia termasuk Soekarno. Sementara itu, untuk warisan yang berupa nama: menurut Taufiq Ismail, ternyata nama Jose Rizal sangat banyak dipakai oleh orang Sumatra Barat. Itu hanya yang tercatat di buku telepon di Padang dan Bukittinggi, belum termasuk mereka-mereka yang tidak berlangganan telepon!

José Rizal dan “Mi Ultimo Adios”

Seperti tokoh Pergerakan Kemerdekaan Indonesia, José Rizal adalah intelektual didikan kolonial yang sadar akan ketertindasan bangsanya. Ia juga menempuh perlawanan dan perjuangan lewat gagasan dan organisasi, terutama ketika kuliah di Eropa (Spanyol, Perancis, Jerman).

Pada masa itulah lahir novelnya yang terkenal, Noli Me Tangere (Jangan Sentuh Aku) yang ditulis di 3 tempat (Madrid, Paris, Berlin) selama 4 tahun dan selesai ketika usianya dua puluh enam tahun, atau dua tahun setelah ia meraih gelar Doktor Ilmu Filsafat dan Sastra.

Novel keduanya, El Filibusterismo (Merajalelanya Keserakahan) merupakan kelanjutan dari novel sebelumnya. Hampir semua karya Rizal ditulis dalam bahasa Spanyol, bahasa penjajah bagi bangsa Filipina. Kedua novel Rizal ini telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (melalui edisi bahasa Inggris) oleh Tjetje Jusuf dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya, masing-masing pada 1975 dan 1994.

eksekusi mati Jose Rizal, 30 Des 1896
[eksekusi José Rizal, 30 Des 1896. Photo credit: Wikipedia]

Berkebalikan dengan kalkulasi pemerintah jajahan Spanyol, eksekusi mati terhadap Rizal justru semakin meneguhkan kesyahidan (martyrdom) Rizal dan membuat novel-novel dan puisi José Rizal itu bergema lebih keras. Hal itu juga makin mengobarkan Revolusi Filipina untuk mencapai pemerintahan sendiri (merdeka). Apalagi di masa penindasan kolonial yang serba-sensor, puisi juga jauh lebih mudah tersebar dan dihapal serta menginspirasi setiap orang yang bergerak.

Puisi “Mi Ultimo Adios” terdiri dari 14 bait dan tiap bait tersusun atas 5 baris, dengan persajakan abaab. Namun sementara ini hanya akan dipenggalkan bait pertama dan tiga bait terakhir dari puisi tersebut. Ini karena hanya keempat bait itulah yang sejauh ini dapat ditampilkan dalam ketiga bahasa: Spanyol, Inggris, dan Indonesia. Seperti akan dijelaskan kemudian, terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rosihan Anwar masih sulit didapat.

Adios, Patria adorada, region del sol querida,   (#1)
Perla del Mar de Oriente, nuestro perdido Eden!
A darte voy alegre la triste mustia vida,
Y fuera más brillante más fresca, más florida,
Tambien por tí la diera, la diera por tu bien.

Entonces nada importa me pongas en olvido,   (#12)
Tu atmósfera, tu espacio, tus valles cruzaré,
Vibrante y limpia nota seré para tu oido,
Aroma, luz, colores, rumor, canto, gemido
Constante repitiendo la esencia de mi fé.

Mi Patria idolatrada, dolor de mis dolores,   (#13)
Querida Filipinas, oye el postrer adios.
Ahi te dejo todo, mis padres, mis amores.
Voy donde no hay esclavos, verdugos ni opresores,
Donde la fé no mata, donde el que reyna es Dios.

Adios, padres y hermanos, trozos del alma mía,   (#14)
Amigos de la infancia en el perdido hogar,
Dad gracias que descanso del fatigoso día;
Adios, dulce extrangera, mi amiga, mi alegria,
Adios, queridos séres morir es descansar.

“Mi Ultimo Adios” terjemahan Bahasa Inggris

Barangkali “Mi Ultimo Adios” merupakan salah satu puisi yang paling banyak diterjemahkan di seluruh dunia. Wikipedia mencatat hingga tahun 2005, terdapat lebih dari 35 versi terjemahan ke dalam bahasa Inggris. Di luar bahasa Inggris, “Mi Ultimo Adios” juga telah diterjemahkan ke dalam 38 bahasa, selain terjemahan ke dalam 46 bahasa daerah Filipina sendiri.

Versi bahasa Inggris berikut adalah terjemahan Trinidad T. Subido, dalam Jaime C. de Veyra, El ’Último Adíos’ de Rizal: estudio crítico-expositivo, hal. 101-102, sebagaimana dikutip Ben Anderson dalam Imagined Communities hal. 142-143 (Buku saya edisi Verso 1991). Versi e-book dari edisi terbaru dapat dibaca di Google Books.

Farewell, dear Land, beloved of the sun,
Pearl of the Orient seas, lost Paradise!
Gladly, I will to you this life undone;
Were it a fairer, fresher, fuller one,
I'd cede it still, your weal to realize...

What matters then that you forget me, when
I might explore your ev'ry dear retreat?
Be as a note, pulsing and pure; and then,
Be scent, light, tone; be song or sign, again;
And through it all, my theme of faith, repeat.

Land I enshrine, list to my last farewell!
Philippines, Love of pains my pain extreme,
I leave you all, all whom I love so well,
To go where neither slaves nor tyrants dwell,
Where Faith kills not, and where God reign supreme.

Farewell to all my soul does comprehend -
O kith and kin in my home dispossessed;
Give thanks my day oppressive is at end;
Farewell, sweet stranger, my delight and friend;
Farewell, dear ones. To die is but to rest.

Dibandingkan dengan terjemahan bahasa Inggris yang lain, misalnya oleh Edwin Agustín Losada atau Charles Derbyshire, maupun yang di kapitbisig.com, terjemahan Trinidad T. Subido ini lebih puitis dan lebih padat, meskipun semua terjemahan bahasa Inggris ini masih setia terhadap persajakan puisi aslinya. Ini juga masih terkait dengan yang disinggung dalam tulisan sebelumnya, bahwa keberhasilan penerjemahan puisi banyak ditentukan bukan saja oleh penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran namun terutama juga oleh kepekaan penerjemah sebagai penyair.

“Mi Ultimo Adios” Terjemahan Bahasa Indonesia

Banyak pihak (lembaga, forum, tajuk surat kabar, ensiklopedia), termasuk dari kalangan Filipina, menyatakan bahwa Rosihan Anwar pernah menerjemahkan puisi “Mi Ultimo Adios” ke Bahasa Indonesia pada tahun 1945. Puisi terjemahan Rosihan Anwar itu dianggap sangat berhasil. Atas karyanya itu, Rosihan Anwar pernah diundang untuk menerima penghargaan dari pemerintah Filipina. Sayang karya semonumental itu belum tersedia secara luas di dunia maya.

Sekedar sebagai bahan diskusi, dalam BlogNotes ini akan disertakan terjemahan dari bahasa Inggris atas bait pertama dan tiga bait terakhir pusi “Mi Ultimo Adios”. Terjemahan ini diambil dari terjemahan buku Ben Anderson, Imagined Communities terbitan Insist Press dan Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Dalam volume itu, penerjemah menerjemahkan puisi Rizal melalui terjemahan bahasa Inggris, seperti Rosihan Anwar dulu. (Silahkan periksa Imagined Communities, Komunitas-komunitas Terbayang, InsistPress & Pustaka Pelajar, 2001).

Berikut terjemahan “Mi Ultimo Adios” dalam bahasa Indonesia dalam buku terjemahan itu (hal. 216-217), yang oleh penerjemahnya sendiri dikatakan sebagai “adaptasi”:

Selamat tinggal, Tanah tercinta, kesayangan mentari,
Mutiara lautan Timur, Kahyangan yang hilang!
Demi kau jiwa-raga kupasrahkan, dengan rela hati;
Andai 'ku lebih indah, lebih segar, lebih utuh dari ini,
'Kan kuserahkan jua, padamu 'tuk kebahagiaanmu ...

Bila kau lupakan aku, apalah artinya jika
'Ku bisa susuri tiap jengkal tercinta relungmu?
Jadilah seutas nada, berdenyut dan murni; sesudahnya
Jadilah aroma, cahya, senandung; lagi jadilah tembang atau tanda
Dan melalui semua, lagukan kembali keyakinanku.

Tanah pujaan, dengarkan selamat tinggalku!
Filipina Cintaku, dukamu sangat laraku jua,
Kutinggalkan kalian semua, yang sangat kucintai;
'Ku pergi ke sana, di mana tiada hamba tiada tiran berada,
Di mana Keyakinan tiada merenggut nyawa,
dan Tuhan mahakuasa beradu.

Selamat tinggal segala yang dimengerti jiwaku
Ya sanak-saudara tanah airku yang dirampasi;
Syukurilah berakhir hari-hari tertindasku;
Selamat tinggal, engkau yang asing nan manis, sukacita dan sahabatku;
Selamat tinggal, orang-orang yang kucintai. Mati hanyalah tetirah ini.

Demikianlah penggalan “Mi Ultimo Adios” karya Dr. José Rizal dalam bahasa Spanyol dan terjemahannya dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ada yang mau berbagi terjemahan yang pernah dikerjakan Rosihan Anwar atau mungkin terjemahan Tjetje Jusuf.***)


Komentar


  1. rahmat, 19 Sep 2011:

    selamat tinggal, engkau yang asing nan manis...

    ungkapan itu membawa aku kembali pada perasaan yang rawan namun indah yang sering aku alami saat memandang tamasya yang berupa-rupa selama perjalanan jauh dengan kereta waktu senja. sawah-sawah yang luas & sepi, perdesaan, rumah-rumah penduduk di permukiman sub-urban dengan cahaya-cahaya lampunya yang "memancarkan kehangatan keluarga".... hemmm ... semuanya asing tapi terasa akrab dan mesra, dan sayangnya: cepat berlalu, fana!

  2. harimur, 22 Sep 2011:

    @Rahmat: Benar-benar penggambaran yang sangat puitis... Jadi teringat suatu rutinitasku antara tahun 2003-2005.. tiap Minggu sore dari Jakarta menuju Bandung dengan KA Parahyangan, yang kini sudah tiada...

  3. kiki, 23 Sep 2011:

    hehehe...suami dari tanteku juga namanya Jose Rizal, aku lupa dia Minang atau bukan, yang pasti keluarganya pengikut Persatuan Islam (persis) tulen...

    har, mungkin perlu juga dibahas sedikit soal sejarah nama belakang Rizal yang dipakainya. Setahuku itu nama yang diwaris oleh kebudayaan Islam di Spanyol. Beberapa muslim Spanyol yang kemudian beralih agama, conversos, yang membawa nama ini ke Filipina...

    Soal inspirasi kaum pergerakan Filipina terhadap sejaawatnya di Indonesia, ini memang hal tetap berlanjut sampai sekarang. Kawan2 gerakan kiri banyak belajar dari partai komunis Filipina dalam hal metode live in. Di Filipina metode ini dirumuskan oleh beberapa pemikir partai komunis, satu di antara mereka adalah jose eliseo rocamora. kita tidak asing dengan nama ini, khususnya para pemerhati sejarah indonesia atau PNI. konon, sampai sekarang, kawan2 gerakan kiri masih mengirim kader2 mereka untuk bertukar pengalaman dan ilmu dengan kader2 kiri di filipina. termasuk dalam hal pemberontakan bersenjata.... hehehe...

  4. Harimur, 25 Sep 2011:

    @Kiki: komentarmu sangat menarik dan provokatif. Untuk dimensi historis dari nama "Rizal", wah... aku belum berfikir sampai sana. Itu akan butuh satu riset yang sangat serius... Untuk point ketiga, mungkin karena pernah menjadi objek imperialisme kapitalis barat, bangsa-bangsa di Asia tenggara lebih punya kedekatan sehingga penggalangan perlawanan (kiri) lebih mudah dilakukan.




Ingin berkomentar?

Form komentar hanya disedikan di posting terbaru. Bila Anda ingin menyampaikan pertanyaan atau komentar, silakan gunakan contact form atau email.


Artikel Terkait

Dalam sejarah kesusasteraan Indonesia ada banyak puisi terjemahan yang sangat terkenal, salah satunya terjemahan Charil Anwar atas puisi karya John Cornford yang kemudian diberi judul Huesca. John Cornford menulis puisi ini buat kekasihnya ketika dirinya pergi ke medan perang di Spanyol tahun 1936.

Baca selengkapnya»