Mooi Indië, “Hindia Belanda yang Jelita”
By: Hari M.
Posted 16 Nov 2012
Menyambung tulisan sebelumnya, posting kali ini berisi semacam sidenote untuk pembahasan tentang Indië. Catatan ini perlu dikemukakan karena selain sebagai rujukan geografis, konsep Indië juga telah ikut membentuk aliran seni yang cukup penting pada masa kolonial, yaitu Mooi Indië.
Selain memikat bagi para pedagang dan penguasa politik Belanda, alam tropis Hindia Belanda yang elok juga telah memikat para seniman Belanda. Mereka banyak mengabadikan keindahan alam Hindia dalam lukisan-lukisan mereka. Pada tahun 1930 direproduksilah sejumlah lukisan dari salah satu pelukis itu (F.J. du Chattel), yang menandai kristalisasi aliran baru seni lukis era kolonial yang disebut Mooi Indië yang umumnya bercerita tentang keindahan alam Hindia Belanda.
Konon, aliran seni rupa ini mendapat tentangan keras, di antaranya dari S. Sudjojono. Baginya, seniman-seniman Mooi Indië telah mereduksi kenyataan di Hindia Belanda yang rakyatnya sedang berjuang untuk merdeka.
Jejak Mooi Indië
Meski secara formal aliran itu sudah selesai setelah terbentuknya RI, ternyata jangkauan pengaruh mooi Indië ini cukup jauh hingga ke generasi yang lebih kemudian. Ini dapat menjelaskan mengapa (setidaknya hingga tahun 80-an, di seluruh Indonesia) guru kesenian di SD memiliki kecenderungan yang sama: mengajari atau membiarkan anak-anak mereproduksi imaji tentang mooi Indië (“Hindia Belanda yang Jelita”) itu.
Di kalangan murid SD era 80-an, bayangan akan indahnya Indonesia itu bahkan subur di daerah-daerah yang sebenarnya gersang dan miskin. Maka jika pelajaran menggambar itu tiba, hampir semua murid pasti akan “menggambar pemandangan”: dua gunung di belakang barisan pepohonan kelapa nun jauh di sana dengan matahari bersinar di atasnya, sebuah jalan berkelok yang ujungnya bertemu di kaki gunung, dengan bentangan sawah di kiri kanan jalan...
Demikianlah, Indië memang mooi.
Tambahan
Gejala dalam pelajaran menggambar pemandangan yang relatif seragam di kalangan murid SD di seluruh Indonesia sampai akhir 80-an itu juga sejalan dengan yang terjadi dalam pelajaran bahasa Indonesia. Yang paling fenomenal adalah seragamnya intonasi pada salah satu teks berjudul “Pagi-pagi”:
pagi-pagi
kukuruyuk-kukuruyuk
begitulah ayam jantan berkokok
Sejumlah pertanyaan serius bisa kita ajukan: Kira-kira siapa yang pertama kali mengajarkan bahwa “begitulah ayam jantan berkokok” itu harus dilagukan dengan intonasi tanya (yang sangat lucu)??? Mengapa —sebagaimana halnya mooi Indië di pelajaran menggambar— ia begitu masif menyebar ke seluruh penjuru Indonesia? Kondisi-kondisi (sosio-kultural, politik, dan ekonomi) macam apa yang mendorong lahirnya kedua fenomena itu...
Komentar Anda
Silakan isi semua field (email Anda tidak akan dipublikasikan) dan tunggulah persetujuan admin.